Minggu, 21 Oktober 2012

sumber ajaran islam(Al-hadits)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali suatu hukum.

Hukum Islam memiliki suatu sistem. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian dan satu sama lainnya berkaitan kebergantungan. Setiap elemen terdiri atas bagian-bagian kecil yang berkaitan tanpa dapat dipisah-pisahkan. Hukum sebagai suatu sistem sampai sekarang dikenal adanya empat sistem hukum yaitu Eropah Kontinental,sistem Hukum Anglo Saxon(Amerika), sistem Hukum Islam dan sistem Hukum Adat.

Sumber hukum islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum islam disebut juga dengan istilah dalil hukum islam atau pokok hukum islam atau dasar hukum islam.Dilihat dari sumbernya-sumber hukumnya, sumber hukum islam merupakan konsepsi hukum islam yang berorientasi kepada agama dengan dasar doktrin keyakinan dalam membentuk kesadaran hukum manusia untuk melaksanakan syari’at, sumber hukumnya merupakan satu kesatuan yang berasal dari hanya firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Dalam yurisprudensi Islam dikenal empat sumber utama yakni :
1.      Al Quran merupakan kitab suci agama Islam
2.      Sunnah merupakan sikap, tindakan, ucapan dan cara atau tradisi Nabi Muhammad SAW
3.      Ijma merupakan kesepakatan antara para ulama
4.      Qiyas merupakan pengkiasan dengan perkara yang telah diketahui hukumnya
Salah satu diantara sumber hukum islam itu adalah sunnah atau Hadist, jika ditelaah maka akan dapatlah kita ketemukan keterkaitan yang erat antara hadist nabi dengan yang terkandung di dalam ayat-ayat suci Al-Quran, maka disini akan menimbulkan suatu tanda Tanya bagaimana sebenarnya peranan hadist tersebut, apakah berdiri sendiri atau sebaliknya.
B.     Rumusan Masalah
Dilandasi latar belakang masalah tersebut di atas serta agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan makalah nantinya, maka penulis membatasi permasalahan dengan rumusannya yaitu “ sumber ajaran islam(Al-hadits)”.

                                                     BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   PENGERTIAN HADITS

 

Para muhadditsin berbeda pendapat di dalam mendefinisikan al-hadits. Hal itu krn terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu lahirlah dua macam pengertian tentang hadis yaitu pengertian yg terbatas di satu pihak dan pengertian yg luas di pihak lain.
Ta’rif Hadis yg Terbatas Dalam pengertian yg terbatas mayoritas ahli hadis berpendapat sebagai berikut. Al-hadits ialah sesuatu yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. yaitu berupa perkataan perbuatan pernyataan dan yg sebagainya.
Definisi ini mengandung empat macam unsur perkataan perbuatan pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw. yg lain yg semuanya hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja tidak termasuk hal-hal yg disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi’in.
Pemberitaan tentang empat unsur tersebut yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. disebut berita yg marfu’ yg disandarkan kepada para sahabat disebut berita mauquf dan yg disandarkan kepada tabi’in disebut maqthu’.

Perbedaan Hadits, Khabar, Dan Atsar

1.     Definisi Hadits
Hadits menurut bahasa berarti baru. Hadits juga – secara bahasa – berarti : “sesuatu yang dibicarakan atau dinukil”. Juga : “sesuatu yang sedikit atau banyak”. Bentuk jamak dari hadits adalah ahaadits.  Adapun firman Allah Subhanahu Ta’ala:
”Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (QS. Al-Kahfi : 6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al-Qur’an.
Juga firman Allah Subhanahu Ta’ala:
”Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah” (QS. Adl-Dluhaa : 11). Maksudnya : sampaikanlah risalahmu, wahai Muhammad (Lisaanul-‘Arab Ibnul-Mandhur).
Hadits menurut istilah ahli hadits adalah : “Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”.
Sedangkan menurut ahli ushul-fiqh, hadits adalah : “Perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah setelah kenabian”. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. (Ushulul-Hadits, Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, halaman 27).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain Tafsir, Sirah, Maghazi (peperangan Nabi), dan Hadits.  Buku-buku hadits adalah lebih khusus berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita-berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidk disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syari’at. Bahkan ijma’ kaum muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam setelah kenabian”. (Fatawaa Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, 18/10-11).
Contoh perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah sabda beliau :
”Perbuatan itu dengan niat, dan setiap orangtergantung pada niatnya” (HR.Bukhari dan Muslim).
Sabda beliau juga :
 ”(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Contoh penetapan (taqrir) Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adaah sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau terhadapnya. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia berkata : “Ada dua orang musafir, ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan air, sehingga keduanya bertayamum dengan debu bersih lalu mendirikan shalat. Kemudian keduanya mendapati air, yang satu mengulang wudlu dan shalat, sedangkan yang lain tidak mengulang. Keduanya lalu menghadap Rasulullah dan menceritakan semua hal tersebut. Terhadap orang yang tidak mengulang beliau bersabda :
”Engkau sudahbenar sesuai sunnah, dan sudah cukup dengannya shalatmu”
Dan kepada yang mengulangi wudlu dan shalatnya, beliau Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda :
”Bagimu pahala dua kali lipat” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Dari Mu’adz bin Jabal bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda ketika mengutusnya ke negeri Yaman : “Apa yang kamu jadikan sebagai pedoman dalam menghukumi sesuatu masalah?”
Ia menjawab : “Dengan Kitabullah”.
Rasulullah bertanya : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?”.
Dia menjawab : “Dengan Sunnah Rasullullah “[/I].
Beliau bertanya lagi : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Sunnag Rasulullah dan Kitabullah ?”
Dia menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pikiranku”. Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda : ”Maha Suci Allah yang telah memebri petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridlai Rasulullah” (HR. Abu Dawud, dan didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Manzilatus-Sunnah).
Diriwayatkan bahwasannya Khalid bin Walid pernah memakan dlabb (hewan sebangsa biawak di padang pasir) yang dihidangkan kepada Nabi, sedangkanbeliau tidak memakannya. Sebagian shahabat bertanya,”Apakah diharamkan memakannya wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab,”Tidak, hanya karena binatang tersebut tidak ada di daerah kaumku sehingga aku tidak merasa berminat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Contoh dari sifat dan Sirah Nabi, adalah banyak sekali . Dan At-Tirmidzi telah menyusun sebuah buku tentang tabi’at (syamail) beliau. (At-Tasyri’ wal-Fiqhi fil-Islam tarikhan wa Manhajan, Manna’ Al-Qahthan, halaman 87-88).



Di antara contohnya adalah :
Dari Abi Ishaq, dia berkata,”Seorang laki-laki bertanya kepada Barra’ : ‘Apakah wajah Rasulullah seperti pedang?”. Dia menjawab : “Tidak, tapi seperti rembulan” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata,”hasan shahih”).
Dari Barra’ dalam riwayat lain,”Rasulullah tidak pendek dan tidak tinggi” ( HR. Tirmidzi, dan dia berkata,”hasan shahih”.).
Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, dia berkata,”Belum pernah aku melihat Rasulullah sejak aku masuk Islam kecuali beliau tersenyum kepadaku”.

2.      Definis Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita. Bentuk jamaknya adalah Akhbaar.
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat :
1.  Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan hadits, sehingga maknanya menjadi sama secara istilah.
2.  Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang datang dari Nabi; sedangkan khabar adalah yang datang dari selain Nabi, seperti shahabat dan tabi’in.
3.  Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum daripada hadits. Kalau hadits adalah segala apa yang datang dari Nabi, sedang khabar adalah yang datang dari Nabi  dan selain Nabi.
  3.  Definsi Atsar
Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada dua pendapat :
1.  Ada yang mengatakan bahwa atsar itu sama dengan hadits, makna keduanya adalah sama.
2.  Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits, yaitu apa yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan dan perbuatan mereka.

B.     KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS

a.       Kedudukan Hadits

            Untuk mengetahui kedudukan Rasulullah dan Sunnahnya dalam Islam, kita perlu melihat beberapa ayat Al-Qur’an lebih dahulu. Dalam Al-Qur’an dapat kita jumpai bahwa Rasulullah saw. mempunyai tugas dan peran sebagai berikut :
1. Rasulullah saw. Merupakan Teladan Baik yang Wajib Dicontoh oleh Setiap Muslim


artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab, 21)

2. Rasulullah saw. Wajib Ditaati
Allah berfirman :


artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (al-Anfal, 20).


artinya :
“Barang siapa taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah.” (al-Nisa, 80).

3. Rasulullah saw Mempunyai Wewenang Untuk Membuat Suatu Aturan
Ayat yang menjelaskan tentang wewenang dan kekuasaan Nabi untuk membuat suatu aturan hukum dapat kita lihat QS. Al-a’raf ayat 157-158. Hal ini merupakan anugerah Allah kepadanya.
Allah berfirman :


artinya :
“dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (al-A’raf, 157)

Dalam ayat ini Allah melimpahkan wewenang untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu kepada Nabi. Karenanya tidak ada perbedaan antara hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah dengan hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Nabi. Keduanya wajib ditaati.

b.      Fungsi Hadits

a. Sumber Ajaran Islam Yang Kedua

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sejak zaman Nabi, umat Islam meyakini bahwa hadits itu merupakan salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Dasar utama dari keyakinan itu adalah berbagai petunjuk Al-Qur’an, diantaranya ialah :

1. Al-Qur’an Surat al-Hasyr : 7


artinya :“dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya; dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu meninggalkannya (apa yang dilarang itu).”






2. Al-Qur’an S. Ali ‘Imran : 32



artinya :
katakanlah : “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; apabila kamu berpaling, maka (ketahuilah bahwa) sesungguhnya Allah tidak menyukai menyukai orang-orang kafir.”

Menurut ulama, ayat yang dikutip pertama (al-Hasyr : 7) mengandung petunjuk yang bersifat umum, yakni bahwa semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman. Ayat yang dikutip kedua (Ali-Imran : 32) mengandung petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah adalah dengan mematuhi petunjuk Al-Qur’an, sedang bentuk ketaatan kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti sunna beliau .

3. Al-Qur’an S. An-Najm : 3-4




artinya :
“Dan (Muhammad) tidaklah berbicara berdasarkan kemauan hawa nafunya. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”


Ayat ini menunjukkan bahwa sumber syariat Islam baik Al-Qur’an maupun hadis merupakan satu kesatuan, yaitu wahyu dari Allah . Al-Qur’an sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan Hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau urutan derajat, Al-Qur’an lebih tinggi rutbah derajatnya dan hadits
 .
b. Sebagai Penjelas Terhadap Al-Qur’an

            Islam menjelaskan hadits adalah sumber yang kedua bagi hukum-hukum, menerangkan segala yang dikehendaki Al-Qur’an, sebagai penyarah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang pertanggungjawabkan kepada yang bukan zhahir-nya. Para ulama, baik ahl al- Ra’y maupun ahl al-Atsar sepakat menetapkan bahwa hadis bekedudukan dan berfungsi untuk menyarahkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-quran yang bersifat global , hal ini merupakan tugas Rasulullah saw, beliau menjelaskan baik dengan lisan maupun perbuatan tugas ini berdasarkan perintah dari Allah swt. Tentu saja penjelasan terhadap isi Al-Qur’an itu bukanlah sekedar membaca Al-Qur’an. Didalam QS. An-Nahl : 44 yang berbunyi :





artinya :
“dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (al-Nahl, 44).

            Setelah melihat konteks ayat ini, kita telah mengetahui bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan penjelasan praktis. dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Karenanya Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur’an juga tidak mungkin, karena Al-Qur’an sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur’an sama saja dengan artinya dengan menolak Al-Qur’an.

            Contoh-contoh mengenai perincian Sunnah terhadap keglobalan Al-Qur’an hamper meliputi seluruh cakrawala tasyri’ Islam, dalam hal ibadah, muamalah, halal, dan haram. Dalam setiap persoalan tersebut, Nabi saw. telah sampai – menurut batas tertentu – kepada penjelasan yang rinci. Kadang-kadang dilakukan dengan cara kias (analogi). Kadang-kadang dengan membandingkan antara dua hal yang saling berlawanan.
Ketika Allah Ta’ala berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah, 275), Rasulullah memahami bahwa tambahan tanpa imbalan atau ganti merupakan rahasia dari diharamkannya riba. Lalu beliau mengiaskan dengan riba sebagai setiap bisnis yang mengandung tambahan tanpa imbalan . Beliau menetapkan: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, korma dengan korma, garam dengan garam, saling berpadanan, saling sama dan saling menerima. Barang siapa menambah atau meminta tambah, berarti ia telah melakukan praktik riba.” Selanjutnya Rasulullah saw. tidak menggolongkannya sebagai riba, bila yang dipertukarkan itu berlainan jenis. Sabda beliau: “Apabila macam-macam ini berbeda, maka juallah sesuka kalian asal saling diterimakan (tunai).”
Contoh-contoh tersebut menempatkan sunnah di antara dua posisi – adakalanya berdiri sendiri dalam tasyri’ tentang hal yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, dan adakalanya sebagai penjelas bagi keglobalan Al-Qur’an.

c. Macam-Macam Penjelas (bayan)

Fungsi hadits sebagai bayan atau penjelas pada Al-Qur’an secara terperinci yang diungkapkan para ulama ialah :
1. Menurut ulama Ahl al-Ra’y (Abu Hanifah).
a. Bayan Taqrir ; keterangan yang didatangkan hadits untuk memperkuat apa yang diterangkan Al-Qur’an.
b. Bayan Tafsir ; menerangkan apa yang susah dipahamai (tersembunyi pengertiannya) seperti ayat menjual yang musytarak fiih.
c. Bayan Tadbil ; mengganti sesuatu hukum atau menasakhkannya, tapi ini dibolehkan apabila hadits itu mutawatir.
2. Menurut Malik
a. Bayan Tafsir ; menetapkan dan mengkokohkan hukum-hukum Al-qur’an
b. Bayan Tawdhih (Tafsir) ; menerangkan maksud-maksud ayat.
c. Bayan Tafshil; menjelaskan kemajmukan Al-qur’an
d. Bayan Bashthi; memanjangkan keterangan yang diringkas oleh Al-qur’an
e. Bayan Tasyri ; mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam Al-qur’an.

3. Menurut Syafi’i
a. Bayan Tafshil ; menjelaskan ayat-ayat yang menjamah, yang sangat ringkas petunjuknya.
b. Bayan Takhshish ; menentukan sesuatu dari umum ayat.
c. Bayan Ta’yin ; menentukan mana yang dimaksud dari dua, tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
d. Bunga Tasyri ; menetapkan secara tekstual.
e. Bayan Nasakh ; menentukan mana yang dinasakh dan mana yang mansukh. Pada ayat yang kelihatan berlawanan.

4. Menurut Ahmad ibnu Hambal.
a. Bayan Ta’kid; sama dengan Bayan Taqrir
b. Bayan Tafsir ;
c. Bayan Tasyri;
d. Bayan Takhshish dan Taqyid


C.    KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM

1.      Hadits Sebagai Sumber Hukum ke-2
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an. Perbendaharaan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an, tidak lepas dari salah satu dari tiga fungsi:
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”---- dan seterusnya ---- (Riwayat Bukhari - Muslim).
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa.”
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya.” (H.R. Bukhari - Muslim).

2.      Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam telah ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam Al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaianya dalam As-sunnah / Al-hadits. Seandainya usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan karena hukum dan cara pengamalannya itu benar-benar terjadi dimasa Nabi SAW. Sehingga memerlukan ijtihad perorangan maupun kelompok yang terwujud dalam bentuk ijma’ ulama atau pedoman lainnya sepanjang bertentangan dengan jiwa syariat.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Nabi SAW. menyatakan kegembiraannya dan syukur kepada Allah atas bai’at Mu’adz bin Jabal, seorang sahabat yang diangkat menjadi duta penuh untuk negeri Yaman, bahwa ia berpedoman kepada Al-Qur-an kemudian Al-hadits / As-sunnah, dan akhirnya ijtihadnya sendiri, sebagaimana Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Disamping itu Allah telah memerintahkan kepada umat Islam agar mentaati Rasul-Nya sebagaimana mentaati Allah sendiri, dan berpegang teguh kepada apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya sebagaimana Firman-Nya dalam Q.S. al-Hasyr : 7 “Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu terimalah dan jalankanlah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul, maka tinggalkanlah.”
Ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat tersebut dapat dibaca dalam Q.S Ali Imran ayat 31, Al-Ahzab ayat 21, Al-Nisa’ ayat 64 dan sebagainya.
Nabi sendiri memberitahukan kepada umatnya bahwa disamping Al-Qur’an, juga masih terdapat pedoman yang sejenis dengan Al-Qur’an, untuk tempat berpijak dan berpandangan. Sebagaimana sabda Beliau yang artinya: “Wahai umatku, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang menyamainya.” (H.R. Abdu Dawud, Ahmad dan At-Turmudzi). Tidak diragukan lagi bahwa yang menyamai (semisal) Al-Qur’an itu adalah As-Sunnah / Al-Hadist, yang merupakan pedoman untuk diamalkan dan ditaati sejajar dengan Al-Qur’an. Dan sekaligus sebagai salah satu dasar penetapan hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Mengapa tingkatan / kedudukan As-sunnah / Al-hadist berada dibawah tingkatan Al-Qur’an? Dalam hal ini As-Syathibi memberikan argumentasi, bahwa:
(1) Al-Qur’an diterima secara Qath’i (meyakinkan), sedangkan Hadist diterima secara Dhanni, kecuali Hadist Mutawattir. Keyakinan kita kepada Hadist hanyalah secara global, bukan secara detail (Tafshili), sedangkan Al-Qur’an, baik secara global maupun secara detail, diterima secara meyakinkan.
(2) Hadist adakalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam Al-Qur’an, adakalanya memberi komentar terhadap Al-Qur’an, dan adakalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan dalam Al-Qur’an. Jika hadist itu berfungsi menerangkan atau memberi komentar terhadap Al-Qur’an, maka sudah barang tentu keadaannya (statusnya) tidak sama dengan derajat pokok yang diberi penjelasan / komentar yang pokok (Al-Qur’an) pasti lebih utama daripada yang memberi komentar (Al-Hadits).
(3) Di dalam Hadits sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut yakni Hadits menduduki posisi ke dua setelah Al-Qur’an sebagaimana dialog Nabi SAW dengan Mua’adz bin Jabal.
Sedangkan menurut pendapat Mahmud Abu Rayyah bahwa posisi As-Sunnah / Al-Hadits itu berada dibawah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun. Dengan demikian Al-Qur’an Qath’iyyul Wurud, baik secara global (Ijmali) maupun terperinci (Tafshili). Sedangkan Hadits / As-Sunnah sampai kepada umat Islam tidak semuannya Mutawattir, tetapi kebanyakan diterima secara Ahad, kebenarannya Qath’i secara global (Ijmali) dan Dzanni secara rinciannya, karena masih banyak Hadits yang tidak sampai kepada umat Islam, disamping banyak pula Hadits-hadits Dlaif.

3.      Perbedaan Hadits Qudsi dan Al-Qur’an
Rasulullah kadang kala menyampaikan pelajaran atau memberi nasehat, yang dihikayatkan / diceritakan dari Tuhannya, Kepada para sahabatnya. Pelajaran-pelajaran itu bukan merupakan wahyu yang diturunkan sebagaimana Al-Qur’an dan bukan merupakan perkataan yang jelas-jelas disandarkan secara langsung kepada dirinya, sebagaimana Hadits pada umumnya. Tetapi pelajaran-pelajaran itu merupakan Hadits-hadits yang diungkapkan oleh Nabi dengan ungkapan yang dinisbatkan kepada Allah, untuk memberi isyarat bahwa amalannya yang utama itu diceritakan dari Allah dengan Uslub (susunan kalimat) yang pada lahiriyahnya benar-benar berbeda dengan Uslub Al-Qur’an. Disamping itu amalan tersebut merupakan pemberian atau hembusan dari alam kesucian, cahaya dari alam ghaib dan anugerah dari Yang Maha Mulia lagi dimulyakan.
Jadi Hadits Qudsi atau Hadits Rabbany atau Hadits Illahi, ialah: “Sesuatu yang dikabarkan Allah ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata Beliau sendiri.”
Adapun bentuk kalimat (Shighat) yang biasa dipakai oleh Ulama Salaf dalam periwayatan Hadits-hadits Qudsi, adalah “Qaala Rasulullah SAW : Fiima Yurwa’an Rabbihi” (Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Tuhannya). Sedangkan Ulama’ Khalaf memiliki cara tersendiri yaitu “Qaalallahu Ta’la Fiima Rawaahu’anhu Rasulullah SAW.” (Allah berfirman sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dari Tuhan).
Perbedaan antara keduanya, menurut Dr. Syu’ban Muhammad Ismail, adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an tiada lain hanyalah wahyu Jaly, yakni Al-Qur’an itu diturunkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW. yang berada dalam kondisi sadar, dan tidak ada ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Beliau melalui ilham atau impian. Sedangkan Hadits Qudsi bisa diwahyukan melalui Wahyu Jaly atau Wahyu Khafy (melalui impian dan ilham).
2. Al-Qur’an merupakan mu’jizat sehingga tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya (Q.S. al-Isra’ : 88), dan ia terjaga dari perubahaan dan pengganti atau terpelihara kemurniannya, karena dijaga oleh Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Hijr ayat 9 “Sesungguhnya telah Kami turunkan peringatan (Qur’an) dan sesungguhnya Kami memeliharanya.” Sedang Hadist Qudsi tidak demikian.
3. Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur’an, tidak berlaku bagi Al-Hadist, seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang berhadast dan bagi orang yang junub dilarang menyentuh dan membacanya. Sedangkan Hadist Qudsi tidak ada pantangannya.
4. Bagian-bagian Al-Qur’an disebut dengan ayat dan surat, sedangkan Hadist-hadist Qudsi tidak demikian.
5. Al-Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam shalat, dan tidak sah shalat seseorang (yang mampu membacanya) bila tidak membaca Al-Qur’an. Sedangkan Hadist Qudsi tidak demikian.
6. Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah, baik mengerti ataupun tidak memahami artinya, dan diberi pahala bagi pembacanya. Sedang Hadist Qudsi tidak demikian.
7. Tidak diperbolehkan meriwayatkan Al-Qur’an dengan maknanya saja (Riwayat Bil Makna), sedang Hadist Qudsi tidak demikian.
8. Al-Qur’an dinukilkan kepada kita dengan jalan Mutawatir dari Nabi SAW, sedang Hadist Qudsi diriwayatkan secara ahad dari Nabi SAW.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan makalah ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut.
1. Hadist merupakan sumber hukum kedua dalam islam, setelah Al-Qur’an, ialah sumber hukum islam yang berupa ucapan, perbuatan Rasulullah, dan ucapan maupun perbuatan para sahabat nabi yang merupakan persetujuan Rasulullah SAW.
2. Hadist sebagai salah satu sumber hukum memiliki peran yang sangat penting dalam pengaturan segala aspek kehidupan manusia. Namun secara garis besar, hadist berperan untuk memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Quran, sehingga keduanya menjadi sumber hukum untuk hal yang sama.

B.     Saran

Diperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis dalam penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada gunanya bagi penulis sendiri, maupun para pembaca pada umumnya. Adapun saran-saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut.
1. Hendaklah dilakukan penelaahan lebih dalam lagi terhadap hadis-hadis nabi, tidak hanya dilakukan oleh para ulama atau orang-orang yang ahli di bidang itu saja tapi juga di harapkan kepada masyarakat banyak untuk ikut
andil mempelajari hadist nabi, sehingga nantinya masyarakat tidak mudah diperbodoh begitu saja nantinya pada hal-hal yang berkaitan dengan hadist, apakah suatu hadist itu sahih, hasan, ataupun dho’if.
2. Hendaklah para ulama melakukan klasifikasi yang lebih jelas lagi mana hadist yang bersifat sahih, hasan, ataupun dho’if, karena tidak semua masyarakat bisa membedakan atau memahami lebih jauh tentang hal itu, dan ini adalah upaya agar masyarakat itu sendiri tidak salah pedoman pada hadist yang sebenarnya tidaklah sahih yang belum jelas kebenaran hadist tersebut.
3. Dalam makalah ini penulis baru bisa mengangkat pembahasan yang berkaitan dengan peranan hadist sebagai salah satu dari sumber hukum islam. Maka penulis menyarankan kepada pemakalah berikutnya agar diadakan pengembangan lebih lanjut dari makalah ini dengan penelaahan lebih jauh dan lebih terperinci lagi, mengenai sumber-sumber hukum islam yang lainnya atau melakukan pengembangan lebih lanjut dari makalah ini dengan penelaahan lebih jauh dan lebih terperinci lagi mengenai hadist sebagai sumber hukum islam.



 DAFTAR PUSTAKA

Najwan, Johni, dkk. 2007. Buku Bahan Ajar Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Jambi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sunnah

http://hbis.wordpress.com/2008/12/05/sumber-sumber-hukum-islam/

http://irfanaseegaf.multiply.com/journal/item/3



Departemen Agama, Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Al-jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Kairo; Dar al-Katib al-Arabi, 1967.
Ismail, H.M.Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta; Gema Insani Press, 1995.
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung; Amal Bakti Press, 1997.
Ash-Shiddiqy, TM.Hasbi, Pengantar dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta; Bulan Bintang, 1972.
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu Hadits, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1997.
Yaqub, Ali Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994.