BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada hakekatnya yang
dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali
suatu hukum.
Hukum
Islam memiliki suatu sistem. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari
bagian-bagian dan satu sama lainnya berkaitan kebergantungan. Setiap elemen
terdiri atas bagian-bagian kecil yang berkaitan tanpa dapat dipisah-pisahkan.
Hukum sebagai suatu sistem sampai sekarang dikenal adanya empat sistem hukum
yaitu Eropah Kontinental,sistem Hukum Anglo Saxon(Amerika), sistem Hukum Islam
dan sistem Hukum Adat.
Sumber
hukum islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum islam
disebut juga dengan istilah dalil hukum islam atau pokok hukum islam atau dasar
hukum islam.Dilihat dari sumbernya-sumber hukumnya, sumber hukum islam
merupakan konsepsi hukum islam yang berorientasi kepada agama dengan dasar doktrin
keyakinan dalam membentuk kesadaran hukum manusia untuk melaksanakan syari’at,
sumber hukumnya merupakan satu kesatuan yang berasal dari hanya firman Allah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Dalam
yurisprudensi Islam dikenal empat sumber utama yakni :
1.
Al
Quran merupakan kitab suci agama Islam
2.
Sunnah
merupakan sikap, tindakan, ucapan dan cara atau tradisi Nabi Muhammad SAW
3.
Ijma
merupakan kesepakatan antara para ulama
4.
Qiyas
merupakan pengkiasan dengan perkara yang telah diketahui hukumnya
Salah satu
diantara sumber hukum islam itu adalah sunnah atau Hadist, jika ditelaah maka
akan dapatlah kita ketemukan keterkaitan yang erat antara hadist nabi dengan
yang terkandung di dalam ayat-ayat suci Al-Quran, maka disini akan menimbulkan
suatu tanda Tanya bagaimana sebenarnya peranan hadist tersebut, apakah berdiri
sendiri atau sebaliknya.
B.
Rumusan
Masalah
Dilandasi latar belakang masalah tersebut di atas serta agar
tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan makalah nantinya, maka penulis
membatasi permasalahan dengan rumusannya yaitu “ sumber ajaran islam(Al-hadits)”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS
Para
muhadditsin berbeda pendapat di dalam mendefinisikan al-hadits. Hal itu krn
terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing.
Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu lahirlah dua macam pengertian
tentang hadis yaitu pengertian yg terbatas di satu pihak dan pengertian yg luas
di pihak lain.
Ta’rif
Hadis yg Terbatas Dalam pengertian yg terbatas mayoritas ahli hadis berpendapat sebagai
berikut. Al-hadits ialah sesuatu yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. yaitu
berupa perkataan perbuatan pernyataan dan yg sebagainya.
Definisi
ini mengandung empat macam unsur perkataan perbuatan pernyataan dan sifat-sifat
atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw. yg lain yg semuanya hanya disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw. saja tidak termasuk hal-hal yg disandarkan kepada
sahabat dan tidak pula kepada tabi’in.
Pemberitaan
tentang empat unsur tersebut yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. disebut
berita yg marfu’ yg disandarkan kepada para sahabat disebut berita mauquf dan
yg disandarkan kepada tabi’in disebut maqthu’.
Perbedaan Hadits, Khabar, Dan Atsar
1. Definisi Hadits
Hadits menurut bahasa berarti baru. Hadits juga – secara bahasa –
berarti : “sesuatu yang dibicarakan atau dinukil”. Juga : “sesuatu yang sedikit
atau banyak”. Bentuk jamak dari hadits adalah ahaadits. Adapun
firman Allah Subhanahu Ta’ala:
”Maka (apakah) barangkali
kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling,
sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (QS. Al-Kahfi : 6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah
Al-Qur’an.
Juga firman Allah Subhanahu Ta’ala:
”Dan adapun nikmat
Tuhanmu, maka sampaikanlah” (QS.
Adl-Dluhaa : 11). Maksudnya : sampaikanlah risalahmu, wahai Muhammad (Lisaanul-‘Arab
Ibnul-Mandhur).
Hadits menurut istilah ahli hadits adalah : “Apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, baik berupa ucapan,
perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau
sesudahnya”.
Sedangkan
menurut ahli ushul-fiqh, hadits adalah : “Perkataan, perbuatan, dan penetapan
yang disandarkan kepada Rasulullah setelah kenabian”. Adapun sebelum kenabian
tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah
mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan
kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. (Ushulul-Hadits,
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, halaman 27).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Buku-buku yang di dalamnya
berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain Tafsir, Sirah, Maghazi
(peperangan Nabi), dan Hadits. Buku-buku hadits adalah lebih khusus
berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita-berita tersebut
terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidk disebutkan untuk dijadikan landasan
amal dan syari’at. Bahkan ijma’ kaum muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan
kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam setelah kenabian”. (Fatawaa Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah, 18/10-11).
Contoh perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah sabda
beliau :
”Perbuatan itu dengan
niat, dan setiap orangtergantung pada niatnya” (HR.Bukhari dan Muslim).
Sabda
beliau juga :
”(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya” (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah)
Contoh penetapan (taqrir) Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adaah
sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau
persetujuan beliau terhadapnya. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia
berkata : “Ada dua orang musafir, ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan
air, sehingga keduanya bertayamum dengan debu bersih lalu mendirikan shalat.
Kemudian keduanya mendapati air, yang satu mengulang wudlu dan shalat,
sedangkan yang lain tidak mengulang. Keduanya lalu menghadap Rasulullah dan
menceritakan semua hal tersebut. Terhadap orang yang tidak mengulang beliau
bersabda :
”Engkau sudahbenar sesuai
sunnah, dan sudah cukup dengannya shalatmu”
Dan kepada yang mengulangi wudlu dan shalatnya, beliau Shallallahu
Alaihi Wassalam bersabda :
”Bagimu pahala dua kali
lipat” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Dari Mu’adz bin Jabal bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam bersabda ketika mengutusnya ke negeri Yaman : “Apa yang kamu
jadikan sebagai pedoman dalam menghukumi sesuatu masalah?”.
Ia menjawab : “Dengan Kitabullah”.
Rasulullah bertanya : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam
Kitabullah?”.
Dia menjawab : “Dengan Sunnah Rasullullah “[/I].
Beliau bertanya lagi : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam
Sunnag Rasulullah dan Kitabullah ?”
Dia menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pikiranku”. Kemudian
Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda : ”Maha Suci Allah yang telah
memebri petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridlai Rasulullah”
(HR. Abu Dawud, dan didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Manzilatus-Sunnah).
Diriwayatkan
bahwasannya Khalid bin Walid pernah memakan dlabb (hewan sebangsa
biawak di padang pasir) yang dihidangkan kepada Nabi, sedangkanbeliau tidak
memakannya. Sebagian shahabat bertanya,”Apakah diharamkan memakannya wahai
Rasulullah?”. Beliau menjawab,”Tidak, hanya karena binatang tersebut tidak
ada di daerah kaumku sehingga aku tidak merasa berminat” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Contoh dari sifat dan Sirah Nabi, adalah banyak sekali . Dan
At-Tirmidzi telah menyusun sebuah buku tentang tabi’at (syamail)
beliau. (At-Tasyri’ wal-Fiqhi fil-Islam tarikhan wa Manhajan, Manna’
Al-Qahthan, halaman 87-88).
Di antara contohnya adalah :
Dari Abi Ishaq, dia berkata,”Seorang laki-laki bertanya kepada
Barra’ : ‘Apakah wajah Rasulullah seperti pedang?”. Dia menjawab : “Tidak,
tapi seperti rembulan” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata,”hasan shahih”).
Dari Barra’ dalam riwayat lain,”Rasulullah tidak pendek dan
tidak tinggi” ( HR. Tirmidzi, dan dia berkata,”hasan shahih”.).
Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, dia berkata,”Belum pernah
aku melihat Rasulullah sejak aku masuk Islam kecuali beliau tersenyum kepadaku”.
2. Definis Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita. Bentuk jamaknya adalah Akhbaar.
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat :
1. Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan hadits,
sehingga maknanya menjadi sama secara istilah.
2. Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang
datang dari Nabi; sedangkan khabar adalah yang datang dari selain Nabi, seperti
shahabat dan tabi’in.
3. Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum
daripada hadits. Kalau hadits adalah segala apa yang datang dari Nabi, sedang
khabar adalah yang datang dari Nabi dan selain Nabi.
3. Definsi Atsar
Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut
istilah ada dua pendapat :
1. Ada yang mengatakan bahwa atsar itu sama dengan hadits,
makna keduanya adalah sama.
2. Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits,
yaitu apa yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan
dan perbuatan mereka.
B.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
a.
Kedudukan
Hadits
Untuk mengetahui kedudukan Rasulullah dan Sunnahnya dalam Islam, kita perlu melihat beberapa ayat Al-Qur’an lebih dahulu. Dalam Al-Qur’an dapat kita jumpai bahwa Rasulullah saw. mempunyai tugas dan peran sebagai berikut :
1.
Rasulullah saw. Merupakan Teladan Baik yang Wajib Dicontoh oleh Setiap Muslim
artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab, 21)
2.
Rasulullah saw. Wajib Ditaati
Allah berfirman :
Allah berfirman :
artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (al-Anfal, 20).
artinya :
“Barang siapa taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah.” (al-Nisa, 80).
3. Rasulullah saw Mempunyai Wewenang Untuk Membuat Suatu Aturan
Ayat yang menjelaskan tentang wewenang dan kekuasaan Nabi untuk membuat suatu aturan hukum dapat kita lihat QS. Al-a’raf ayat 157-158. Hal ini merupakan anugerah Allah kepadanya.
Allah berfirman :
artinya :
“dan (Nabi) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (al-A’raf, 157)
Dalam ayat ini Allah melimpahkan wewenang untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu kepada Nabi. Karenanya tidak ada perbedaan antara hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah dengan hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Nabi. Keduanya wajib ditaati.
b. Fungsi Hadits
a. Sumber Ajaran Islam Yang Kedua
a. Sumber Ajaran Islam Yang Kedua
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sejak zaman Nabi, umat Islam meyakini bahwa hadits itu merupakan salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Dasar utama dari keyakinan itu adalah berbagai petunjuk Al-Qur’an, diantaranya ialah :
1. Al-Qur’an Surat al-Hasyr : 7
artinya :“dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya; dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu meninggalkannya (apa yang dilarang itu).”
2. Al-Qur’an S. Ali ‘Imran : 32
artinya :
katakanlah : “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; apabila kamu berpaling, maka (ketahuilah bahwa) sesungguhnya Allah tidak menyukai menyukai orang-orang kafir.”
Menurut ulama, ayat yang dikutip pertama (al-Hasyr : 7) mengandung petunjuk yang bersifat umum, yakni bahwa semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman. Ayat yang dikutip kedua (Ali-Imran : 32) mengandung petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah adalah dengan mematuhi petunjuk Al-Qur’an, sedang bentuk ketaatan kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti sunna beliau .
3. Al-Qur’an S. An-Najm : 3-4
artinya :
“Dan (Muhammad) tidaklah berbicara berdasarkan kemauan hawa nafunya. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Ayat ini
menunjukkan bahwa sumber syariat Islam baik Al-Qur’an maupun hadis merupakan
satu kesatuan, yaitu wahyu dari Allah . Al-Qur’an sebagai pokok hukum merupakan
dasar pertama dan Hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau
urutan derajat, Al-Qur’an lebih tinggi rutbah derajatnya dan hadits
.
b. Sebagai Penjelas Terhadap Al-Qur’an
Islam menjelaskan hadits adalah sumber yang kedua bagi hukum-hukum, menerangkan segala yang dikehendaki Al-Qur’an, sebagai penyarah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang pertanggungjawabkan kepada yang bukan zhahir-nya. Para ulama, baik ahl al- Ra’y maupun ahl al-Atsar sepakat menetapkan bahwa hadis bekedudukan dan berfungsi untuk menyarahkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-quran yang bersifat global , hal ini merupakan tugas Rasulullah saw, beliau menjelaskan baik dengan lisan maupun perbuatan tugas ini berdasarkan perintah dari Allah swt. Tentu saja penjelasan terhadap isi Al-Qur’an itu bukanlah sekedar membaca Al-Qur’an. Didalam QS. An-Nahl : 44 yang berbunyi :
b. Sebagai Penjelas Terhadap Al-Qur’an
Islam menjelaskan hadits adalah sumber yang kedua bagi hukum-hukum, menerangkan segala yang dikehendaki Al-Qur’an, sebagai penyarah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang pertanggungjawabkan kepada yang bukan zhahir-nya. Para ulama, baik ahl al- Ra’y maupun ahl al-Atsar sepakat menetapkan bahwa hadis bekedudukan dan berfungsi untuk menyarahkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-quran yang bersifat global , hal ini merupakan tugas Rasulullah saw, beliau menjelaskan baik dengan lisan maupun perbuatan tugas ini berdasarkan perintah dari Allah swt. Tentu saja penjelasan terhadap isi Al-Qur’an itu bukanlah sekedar membaca Al-Qur’an. Didalam QS. An-Nahl : 44 yang berbunyi :
artinya :
“dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (al-Nahl, 44).
Setelah melihat konteks ayat ini, kita telah mengetahui bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan penjelasan praktis. dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Karenanya Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur’an juga tidak mungkin, karena Al-Qur’an sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur’an sama saja dengan artinya dengan menolak Al-Qur’an.
Contoh-contoh mengenai perincian Sunnah terhadap keglobalan Al-Qur’an hamper meliputi seluruh cakrawala tasyri’ Islam, dalam hal ibadah, muamalah, halal, dan haram. Dalam setiap persoalan tersebut, Nabi saw. telah sampai – menurut batas tertentu – kepada penjelasan yang rinci. Kadang-kadang dilakukan dengan cara kias (analogi). Kadang-kadang dengan membandingkan antara dua hal yang saling berlawanan.
Ketika Allah Ta’ala berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah, 275), Rasulullah memahami bahwa tambahan tanpa imbalan atau ganti merupakan rahasia dari diharamkannya riba. Lalu beliau mengiaskan dengan riba sebagai setiap bisnis yang mengandung tambahan tanpa imbalan . Beliau menetapkan: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, korma dengan korma, garam dengan garam, saling berpadanan, saling sama dan saling menerima. Barang siapa menambah atau meminta tambah, berarti ia telah melakukan praktik riba.” Selanjutnya Rasulullah saw. tidak menggolongkannya sebagai riba, bila yang dipertukarkan itu berlainan jenis. Sabda beliau: “Apabila macam-macam ini berbeda, maka juallah sesuka kalian asal saling diterimakan (tunai).”
Contoh-contoh tersebut menempatkan sunnah di antara dua posisi – adakalanya berdiri sendiri dalam tasyri’ tentang hal yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, dan adakalanya sebagai penjelas bagi keglobalan Al-Qur’an.
c. Macam-Macam Penjelas (bayan)
Fungsi hadits sebagai bayan atau penjelas pada Al-Qur’an secara terperinci yang diungkapkan para ulama ialah :
1. Menurut ulama Ahl al-Ra’y (Abu Hanifah).
a. Bayan Taqrir ; keterangan yang didatangkan hadits untuk memperkuat apa yang diterangkan Al-Qur’an.
b. Bayan Tafsir ; menerangkan apa yang susah dipahamai (tersembunyi pengertiannya) seperti ayat menjual yang musytarak fiih.
c. Bayan Tadbil ; mengganti sesuatu hukum atau menasakhkannya, tapi ini dibolehkan apabila hadits itu mutawatir.
2. Menurut Malik
a. Bayan Tafsir ; menetapkan dan mengkokohkan hukum-hukum Al-qur’an
b. Bayan Tawdhih (Tafsir) ; menerangkan maksud-maksud ayat.
c. Bayan Tafshil; menjelaskan kemajmukan Al-qur’an
d. Bayan Bashthi; memanjangkan keterangan yang diringkas oleh Al-qur’an
e. Bayan Tasyri ; mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam Al-qur’an.
3. Menurut Syafi’i
a. Bayan Tafshil ; menjelaskan ayat-ayat yang menjamah, yang sangat ringkas petunjuknya.
b. Bayan Takhshish ; menentukan sesuatu dari umum ayat.
c. Bayan Ta’yin ; menentukan mana yang dimaksud dari dua, tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
d. Bunga Tasyri ; menetapkan secara tekstual.
e. Bayan Nasakh ; menentukan mana yang dinasakh dan mana yang mansukh. Pada ayat yang kelihatan berlawanan.
4. Menurut Ahmad ibnu Hambal.
a. Bayan Ta’kid; sama dengan Bayan Taqrir
b. Bayan Tafsir ;
c. Bayan Tasyri;
d. Bayan Takhshish dan Taqyid
C.
KEDUDUKAN
HADITS DALAM ISLAM
1. Hadits Sebagai
Sumber Hukum ke-2
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang
pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an. Perbendaharaan
Al-Hadits terhadap Al-Qur’an, tidak lepas dari salah satu dari tiga fungsi:
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang
telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama
menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi
palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 “Dan jauhilah perkataan dusta.”
Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan
kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai
Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2)
Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba
duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”---- dan seterusnya
---- (Riwayat Bukhari - Muslim).
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar
zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah
raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan
nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji.
Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan
sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan
darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan
kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam
bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai,
dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan
bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa.”
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak
didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan
itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi
seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak
boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari
bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya.” (H.R. Bukhari -
Muslim).
2. Hubungan Hadits
dengan Al-Qur’an
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits
Nabi SAW itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an.
Ajaran-ajaran Islam telah ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut
petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau
tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam Al-Qur’an, maka
hendaknya dicarikan penyelesaianya dalam As-sunnah / Al-hadits. Seandainya
usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan karena hukum dan cara pengamalannya
itu benar-benar terjadi dimasa Nabi SAW. Sehingga memerlukan ijtihad perorangan
maupun kelompok yang terwujud dalam bentuk ijma’ ulama atau pedoman lainnya
sepanjang bertentangan dengan jiwa syariat.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa
Nabi SAW. menyatakan kegembiraannya dan syukur kepada Allah atas bai’at Mu’adz
bin Jabal, seorang sahabat yang diangkat menjadi duta penuh untuk negeri Yaman,
bahwa ia berpedoman kepada Al-Qur-an kemudian Al-hadits / As-sunnah, dan
akhirnya ijtihadnya sendiri, sebagaimana Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim.
Disamping itu Allah telah memerintahkan
kepada umat Islam agar mentaati Rasul-Nya sebagaimana mentaati Allah sendiri,
dan berpegang teguh kepada apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya sebagaimana
Firman-Nya dalam Q.S. al-Hasyr : 7 “Apa-apa yang disampaikan Rasulullah
kepadamu terimalah dan jalankanlah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul, maka
tinggalkanlah.”
Ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat
tersebut dapat dibaca dalam Q.S Ali Imran ayat 31, Al-Ahzab ayat 21, Al-Nisa’
ayat 64 dan sebagainya.
Nabi sendiri memberitahukan kepada
umatnya bahwa disamping Al-Qur’an, juga masih terdapat pedoman yang sejenis
dengan Al-Qur’an, untuk tempat berpijak dan berpandangan. Sebagaimana sabda
Beliau yang artinya: “Wahai umatku, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang
menyamainya.” (H.R. Abdu Dawud, Ahmad dan At-Turmudzi). Tidak diragukan lagi
bahwa yang menyamai (semisal) Al-Qur’an itu adalah As-Sunnah / Al-Hadist, yang
merupakan pedoman untuk diamalkan dan ditaati sejajar dengan Al-Qur’an. Dan
sekaligus sebagai salah satu dasar penetapan hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Mengapa tingkatan / kedudukan As-sunnah
/ Al-hadist berada dibawah tingkatan Al-Qur’an? Dalam hal ini As-Syathibi
memberikan argumentasi, bahwa:
(1) Al-Qur’an diterima secara Qath’i (meyakinkan),
sedangkan Hadist diterima secara Dhanni, kecuali Hadist Mutawattir. Keyakinan
kita kepada Hadist hanyalah secara global, bukan secara detail (Tafshili),
sedangkan Al-Qur’an, baik secara global maupun secara detail, diterima secara
meyakinkan.
(2) Hadist adakalanya menerangkan sesuatu yang bersifat
global dalam Al-Qur’an, adakalanya memberi komentar terhadap Al-Qur’an, dan
adakalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan dalam Al-Qur’an. Jika
hadist itu berfungsi menerangkan atau memberi komentar terhadap Al-Qur’an, maka
sudah barang tentu keadaannya (statusnya) tidak sama dengan derajat pokok yang
diberi penjelasan / komentar yang pokok (Al-Qur’an) pasti lebih utama daripada
yang memberi komentar (Al-Hadits).
(3) Di dalam Hadits sendiri terdapat petunjuk mengenai
hal tersebut yakni Hadits menduduki posisi ke dua setelah Al-Qur’an sebagaimana
dialog Nabi SAW dengan Mua’adz bin Jabal.
Sedangkan menurut pendapat Mahmud Abu
Rayyah bahwa posisi As-Sunnah / Al-Hadits itu berada dibawah Al-Qur’an, karena
Al-Qur’an sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada
keraguan sedikitpun. Dengan demikian Al-Qur’an Qath’iyyul Wurud, baik secara
global (Ijmali) maupun terperinci (Tafshili). Sedangkan Hadits / As-Sunnah
sampai kepada umat Islam tidak semuannya Mutawattir, tetapi kebanyakan diterima
secara Ahad, kebenarannya Qath’i secara global (Ijmali) dan Dzanni secara
rinciannya, karena masih banyak Hadits yang tidak sampai kepada umat Islam,
disamping banyak pula Hadits-hadits Dlaif.
3. Perbedaan
Hadits Qudsi dan Al-Qur’an
Rasulullah kadang kala menyampaikan
pelajaran atau memberi nasehat, yang dihikayatkan / diceritakan dari Tuhannya,
Kepada para sahabatnya. Pelajaran-pelajaran itu bukan merupakan wahyu yang diturunkan
sebagaimana Al-Qur’an dan bukan merupakan perkataan yang jelas-jelas
disandarkan secara langsung kepada dirinya, sebagaimana Hadits pada umumnya.
Tetapi pelajaran-pelajaran itu merupakan Hadits-hadits yang diungkapkan oleh
Nabi dengan ungkapan yang dinisbatkan kepada Allah, untuk memberi isyarat bahwa
amalannya yang utama itu diceritakan dari Allah dengan Uslub (susunan kalimat)
yang pada lahiriyahnya benar-benar berbeda dengan Uslub Al-Qur’an. Disamping
itu amalan tersebut merupakan pemberian atau hembusan dari alam kesucian,
cahaya dari alam ghaib dan anugerah dari Yang Maha Mulia lagi dimulyakan.
Jadi Hadits Qudsi atau Hadits Rabbany
atau Hadits Illahi, ialah: “Sesuatu yang dikabarkan Allah ta’ala kepada
Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan
makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata Beliau sendiri.”
Adapun bentuk kalimat (Shighat) yang
biasa dipakai oleh Ulama Salaf dalam periwayatan Hadits-hadits Qudsi, adalah “Qaala
Rasulullah SAW : Fiima Yurwa’an Rabbihi” (Rasulullah bersabda sebagaimana
diriwayatkan dari Tuhannya). Sedangkan Ulama’ Khalaf memiliki cara tersendiri
yaitu “Qaalallahu Ta’la Fiima Rawaahu’anhu Rasulullah SAW.” (Allah
berfirman sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dari Tuhan).
Perbedaan antara keduanya, menurut Dr.
Syu’ban Muhammad Ismail, adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an tiada lain hanyalah wahyu Jaly, yakni
Al-Qur’an itu diturunkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW. yang berada
dalam kondisi sadar, dan tidak ada ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Beliau
melalui ilham atau impian. Sedangkan Hadits Qudsi bisa diwahyukan melalui Wahyu
Jaly atau Wahyu Khafy (melalui impian dan ilham).
2. Al-Qur’an merupakan mu’jizat sehingga tidak ada
seorangpun yang mampu menandinginya (Q.S. al-Isra’ : 88), dan ia terjaga dari
perubahaan dan pengganti atau terpelihara kemurniannya, karena dijaga oleh
Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Hijr ayat 9 “Sesungguhnya telah
Kami turunkan peringatan (Qur’an) dan sesungguhnya Kami memeliharanya.” Sedang
Hadist Qudsi tidak demikian.
3. Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur’an, tidak
berlaku bagi Al-Hadist, seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang
berhadast dan bagi orang yang junub dilarang menyentuh dan membacanya.
Sedangkan Hadist Qudsi tidak ada pantangannya.
4. Bagian-bagian Al-Qur’an disebut dengan ayat dan surat,
sedangkan Hadist-hadist Qudsi tidak demikian.
5. Al-Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam shalat, dan
tidak sah shalat seseorang (yang mampu membacanya) bila tidak membaca
Al-Qur’an. Sedangkan Hadist Qudsi tidak demikian.
6. Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah, baik mengerti
ataupun tidak memahami artinya, dan diberi pahala bagi pembacanya. Sedang
Hadist Qudsi tidak demikian.
7. Tidak diperbolehkan meriwayatkan Al-Qur’an dengan
maknanya saja (Riwayat Bil Makna), sedang Hadist Qudsi tidak demikian.
8. Al-Qur’an dinukilkan kepada kita dengan jalan
Mutawatir dari Nabi SAW, sedang Hadist Qudsi diriwayatkan secara ahad dari Nabi
SAW.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan yang timbul
dalam bab pendahuluan makalah ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut.
1. Hadist merupakan sumber hukum kedua
dalam islam, setelah Al-Qur’an, ialah sumber hukum islam yang berupa ucapan,
perbuatan Rasulullah, dan ucapan maupun perbuatan para sahabat nabi yang
merupakan persetujuan Rasulullah SAW.
2. Hadist sebagai salah satu sumber
hukum memiliki peran yang sangat penting dalam pengaturan segala aspek
kehidupan manusia. Namun secara garis besar, hadist berperan untuk memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Quran, sehingga keduanya menjadi
sumber hukum untuk hal yang sama.
B.
Saran
Diperhatikan
kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis dalam
penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada
gunanya bagi penulis sendiri, maupun para pembaca pada umumnya. Adapun
saran-saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut.
1.
Hendaklah dilakukan penelaahan lebih dalam lagi terhadap hadis-hadis nabi,
tidak hanya dilakukan oleh para ulama atau orang-orang yang ahli di bidang itu
saja tapi juga di harapkan kepada masyarakat banyak untuk ikut
andil
mempelajari hadist nabi, sehingga nantinya masyarakat tidak mudah diperbodoh
begitu saja nantinya pada hal-hal yang berkaitan dengan hadist, apakah suatu
hadist itu sahih, hasan, ataupun dho’if.
2.
Hendaklah para ulama melakukan klasifikasi yang lebih jelas lagi mana hadist
yang bersifat sahih, hasan, ataupun dho’if, karena tidak semua masyarakat bisa
membedakan atau memahami lebih jauh tentang hal itu, dan ini adalah upaya agar
masyarakat itu sendiri tidak salah pedoman pada hadist yang sebenarnya tidaklah
sahih yang belum jelas kebenaran hadist tersebut.
3. Dalam
makalah ini penulis baru bisa mengangkat pembahasan yang berkaitan dengan
peranan hadist sebagai salah satu dari sumber hukum islam. Maka penulis
menyarankan kepada pemakalah berikutnya agar diadakan pengembangan lebih lanjut
dari makalah ini dengan penelaahan lebih jauh dan lebih terperinci lagi,
mengenai sumber-sumber hukum islam yang lainnya atau melakukan pengembangan
lebih lanjut dari makalah ini dengan penelaahan lebih jauh dan lebih terperinci
lagi mengenai hadist sebagai sumber hukum islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Najwan, Johni, dkk. 2007. Buku Bahan Ajar Hukum Islam,
Fakultas Hukum Universitas Jambi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunnah
http://hbis.wordpress.com/2008/12/05/sumber-sumber-hukum-islam/
http://irfanaseegaf.multiply.com/journal/item/3
Departemen
Agama, Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Al-jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Kairo; Dar al-Katib al-Arabi, 1967.
Ismail, H.M.Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta; Gema Insani Press, 1995.
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung; Amal Bakti Press, 1997.
Ash-Shiddiqy, TM.Hasbi, Pengantar dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta; Bulan Bintang, 1972.
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu Hadits, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1997.
Yaqub, Ali Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Al-jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Kairo; Dar al-Katib al-Arabi, 1967.
Ismail, H.M.Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta; Gema Insani Press, 1995.
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung; Amal Bakti Press, 1997.
Ash-Shiddiqy, TM.Hasbi, Pengantar dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta; Bulan Bintang, 1972.
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu Hadits, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1997.
Yaqub, Ali Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994.